Menyuarakan krisis iklim ditengah ramainya kendaraan dengan membawa poster tuntutan. (DNKTV/Ridho Fadillah)
Di tengah guyuran hujan dan ramainya kendaraan, dalam memperingati Hari Bumi Sedunia sejumlah aktivis terus menyuarakan keresahan terhadap krisis iklim yang terjadi di bumi yang dilaksanakan di Jalan Margonda Raya, Depok, Jawa Barat, pada Jum’at (22/4).
Perubahan cuaca secara signifikan dari panas terik lalu tiba-tiba hujan petir yang sering terjadi pada akhir-akhir ini, semata bukan karena perubahan iklim biasa, namun semua perubahan itu adalah akibat krisis iklim dan pemanasan rata-rata 1,1 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.
“Jika kita tidak bergerak cepat, kita cuma punya waktu 30 bulan untuk bisa menekan kenaikan suhu bumi itu tidak lebih dari 1,5 derajat celcius, kalau misalnya tidak segera, itu suhu bumi akan naik sampai ke 2 derajat dan itu efeknya sangat banyak” ucap Aktivis Aksi For Gender, Social, and Ecological Justice, Kinanti Munggareni.
Laporan ini juga menunjukkan meskipun kita sudah mengambil langkah-langkah pengurangi emisi secara tegas, pemanasan iklim sudah terlanjur masuk ke dalam sistem iklim. Hal tersebut menimbulkan peristiwa cuaca ekstrem yang lebih berbahaya dan merusak dari yang kita lihat hari ini.
“Memang usaha-usaha untuk menekan emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global di bumi ini sudah banyak dilakukan, begitupun proyek-proyek yang merespon krisis iklim itu sudah banyak, tapi proyek-proyek ini juga kita lihat ternyata solusi palsu false climate solution, dan itu terus digaungkan,” ungkap Kinanti.
Salah satu tuntutan pada aksi Hari Bumi yaitu G20 stop funding our extinction. (DNTV/Ridho Fadillah)
Kinan dan seluruh aktivis peduli iklim berharap agar pemerintah bisa membuka mata dan lebih serius dalam menangani kasus krisis iklim yang sedang terjadi, karena krisis iklim sudah berdampak terlalu besar bagi seluruh kehidupan makhluk di dunia. Kinan juga berharap untuk masyarakat ikut membersamai gaungkan krisis iklim dan bebenah mulai dari hal kecil.
Akankah kita bisa membatasi pemanasan di tingkat ini dan mencegah dampak krisis iklim lebih buruk? Jawabannya tergantung dari tindakan yang ambil umat manusia dalam dekade ini.
Saat ini,
kita semua hidup di era modern yang serba digital. Kemajuan teknologi yang
makin berkembang pesat menawarkan kemudahan untuk kita melakukan kegiatan
sehari-hari. Apalagi semenjak adanya pandemi Covid-19, intensitas dalam
menggunakan teknologi makin bertambah.
Salah
satunya adalah mengirim dan menerima dokumen maupun pesan melalui e-mail. Jika
dilihat sekilas, kemajuan teknologi tersebut memang bermanfaat bagi manusia.
Kita tidak perlu mengeluarkan uang untuk mencetak dokumen dan mengurangi polusi
kertas. Namun, tahukah kamu kebiasaan kita dalam bertukar pesan melalui e-mail,
lalu menumpuknya begitu saja ternyata berdampak pada kesehatan bumi?
Dalam sebuah penelitian, penggunaan e-mail dapat mengancam dan
memperburuk pemanasan global di Bumi. Pasalnya, mengirim e-mail dapat dikatakan
menambah karbon dioksida (CO2) beracun. Mengapa demikian? Umumnya, e-mail yang
kamu biarkan di kotak masuk disimpan di cloud atau
komputasi awan. Kegiatan penyimpanan ini ternyata membutuhkan energi listrik
dalam jumlah yang cukup signifikan, yang sebagian besar masih dihasilkan oleh
bahan bakar fosil.
Seberapa Banyak Listrik yang
Dibutuhkan E-mail?
Makin banyak energi listrik yang digunakan, makin banyak pula emisi CO2 yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil pada pembangkit listrik. Melansir The Good Planet pada 2019, tercatat ada lebih dari 2,3 miliar pengguna e-mail di seluruh dunia. Diprakirakan sekitar 293,6 miliar e-mail yang dikirimkan setiap harinya. Angka yang cukup fantastis, ya.
Menurut penelitian McAfee, 78 persen dari semua e-mail yang masuk adalah spam. Terdapat sekitar 62 triliun pesan spam dikirim setiap tahun yang membutuhkan penggunaan listrik sebesar 33 miliar kilowatt jam (KWh) dan menyebabkan sekitar 20 juta ton CO2 per tahun.
Untuk setiap 1 GB data yang disimpan di data center, penyedia layanan e-mail menggunakan pasokan listrik
sekitar 32 kWh. Jika semua pengguna rutin menghapus sepuluh email per hari,
ternyata dapat menghemat ruang penyimpanan 1,7 juta GB atau setara dengan 55,2
juta kWh listrik yang digunakan data center, loh! Alhasil, diprakirakan
penyedia data center dapat mengurangi
konsumsi 19.356 ton karbon atau setara dengan 39.035 ton emisi karbon.
Aksi dari Scientist Rebellion memperingkatkan suhu iklim bumi (Instagram.com/scientistrebellion)
Tapi Enggak Sesimpel Menghapus E-Mail Aja!
Faktanya, bukan hanya penggunaan e-mail yang dapat meningkatkan emisi karbon. Kegiatan-kegiatan seperti streaming video, menonton televisi, bermain video gim, streaming musik, dan bermain sosial media juga dapat meningkatkan emisi karbon. Lantas, apakah kita harus mulai mengurangi kebiasaan-kebiasaan tersebut? Jawabannya, boleh saja. Meskipun sebenarnya tidak memiliki dampak besar untuk bumi, tetapi hal tersebut lebih baik daripada kita tidak melakukan apapun.
Agar
memiliki dampak yang lebih signifikan, kita dianjurkan untuk berhenti
menggunakan listrik berbahan bakar fosil. Sebagai contoh, Google telah
memproklamirkan diri carbon-neutral dengan
mendanai proyek-proyek lingkungan untuk mengurangi dampak emisi karbon yang
dihasilkan dari layanan mereka, seperti e-mail ataupun YouTube.
Selain Google, perusahaan teknologi raksasa lainnya juga berjanji untuk menghapus “semua karbon” dari lingkungannya yang dipancarkan sejak 1975. Perusahaan tersebut adalah Microsoft. Untuk melakukannya, perusahaan bertujuan untuk menjadi carbon-negative pada tahun 2030. Agar menjadi carbon-negative, perusahaan tersebut menyarankan sejumlah cara untuk menghilangkan karbon dari atmosfer, seperti menciptakan hutan baru dan memperluas yang sudah ada, mengembalikan karbon ke dalam tanah, dan menyedot CO2 keluar dari atmosfer dengan menggunakan kipas besar untuk memindahkan udara melalui filter yang dapat menghilangkan gas.
Sebenarnya, apa perbedaan carbon-neutral dan carbon-negative? Singkatnya, carbon-neutral adalah seluruh aktivitas yang tidak memengaruhi kadar emisi karbon di atmosfer (Ilmastopaneeli, 2014). Kegiatan yang dilakukan bermacam-macam, seperti penanaman pohon, bersepeda, dan kegiatan lainnya yang ramah lingkungan. Sedangkan, carbon-negative adalah usaha-usaha untuk mengurangi kadar karbon di atmosfer.
Nah, setelah mengetahui bahwa karbon memiliki dampak yang besar bagi lingkungan, sebaiknya Indonesia segera mengganti energi listrik berbahan bakar fosil ke energi alternatif lainnya, seperti energi matahari, angin, air, dan lainnya. Hal tersebut tentu saja tidak dapat dicapai jika kurangnya dukungan dari pemerintah.
Gustomi Sutioso: Dear G20 Leaders, Solusi Sudah Ada, Tinggal Eksekusinya
Reporter Halwa Shaima; Editor Ahmad Haetami dan Tiara De Silvanita
Gustomi Sutioso, pemenang video favorit dalam lomba Dear G20 Leaders sedang berbicara dalam video yang dibuatnya (Instagram/@fpcindo)
Pemenang
kompetisi video “Dear G20 Leaders” Top 21 Video yang diselenggarakan
Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Gustomi Sutioso, angkat bicara
mengenai pelaksanaan G20 tahun ini. Pasalnya, pelaksanaan G20 tahun ini bertuan rumah di Indonesia. Ini
yang menjadikan Indonesia harus mampu dalam memberikan contoh baik bagi anggota
G20 lainnya.
Gustomi yang
juga seorang mahasiswa UIN Jakarta dalam videonya memberikan beberapa rekomendasi terkait
solusi agenda iklim Indonesia pasca COP26. Ia meyakini bahwa Indonesia ke
depannya bisa mewujudkan solusi yang terukur dari pakar Iklim Indonesia.
“Kalau
saya soal keyakinan itu di persentase masih 60 persen ya, sebenarnya untuk
permasalahan agenda iklim ini, untuk solusinya sudah ada segala macam. Cuma
yang belum itu tinggal eksekusinya,” tutur Gustomi melalui DNK TV, Jumat
(01/04).
Ia juga
berpendapat bahwa pelaksanaan eksekusi ini masih berat, karena melibatkan
banyak kepentingan dari investor bisnis, masyarakat sipil, dan pemimpin pemerintahan.
Melansir
dari laman Bank Indonesia, G20 merupakan kepanjangan
dari Group of Twenty. G20 sendiri adalah forum kerja sama multilateral yang terdiri dari
19 negara dan satu kawasan ekonomi, Uni Eropa. G20 merepresentasikan
lebih dari 60 persen populasi bumi, 75 persen perdagangan global, dan 80 persen
PDB dunia.
“Kalau
soal iklim ini, sebaiknya Indonesia lebih memperbaharui NDC-nya. Jadi, NDC itu
semacam rencana pembangunan nasional terkait dengan pengurangan suhu
global,” ucap Gustomi.
NDC terbaru Indonesia untuk masa depan yang tahan iklim (Global Green Growth Institute)
Gustomi juga menambahkan bahwa Indonesia perlu meningkatkan ambisinya
dengan memperbarui Nationally
Determined Contribution (NDC) yang lebih baik. Karena sejauh ini, NDC Indonesia tercatat masih
jauh dari target suhu global. NDC merupakan dokumen kontribusi yang ditetapkan
secara nasional yang memuat komitmen dan aksi iklim sebuah negara yang
dikomunikasikan kepada dunia melalui United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC).
“G20
perlu memperbarui target NDC untuk mencerminkan ambisi setinggi mungkin . Kita
tidak bisa bergerak sendiri, harus saling bahu-membahu. Kita tahu ini tidak
mudah, tapi inilah yang bisa kita perjuangkan untuk anak cucu kita. Semoga G20
bisa memberikan contoh, G20 bisa memimpin dunia dalam bekerja sama mengatasi
perubahan iklim dan mengelola lingkungan secara berkelanjutan dan tindakan
nyata,” tutup gustomi dalam videonya.
Terkait
pelaksanaan G20 sendiri, Gustomi mengungkapkan bahwa G20 berpotensi hanya
dijadikan sekadar pertemuan seremonial yang sifatnya proyek. Namun, ia kembali
meyakinkan jika selama G20 berjalan selaras dengan tujuan publik akan
menambahkan dampak positif yang didapat.
Barisan Pasca Kiamat Layangkan Pesan ‘Kematian’ untuk Jokowi
Reporter Siti Nur Khofifah; Editor Ahmad Haetami
Long march dengan membawa poster protes dan kostum zombie (Instagram/@dhikaarz)
Indonesia darurat krisis iklim. Itulah pernyataan yang terus digaungkan aktivis untuk menyuarakan keresehan terhadap krisis iklim yang terjadi di bumi. Berbagai elemen masyarakat mengadakan Aksi Global Climate Strike 2022 yang dilaksanakan di Taman Skate Park Dukuh Atas Sudirman, Jumat (25/3).
Para aktivis ini melakukan long march dari depan Sudirman Plaza hingga akhirnya berkumpul di Taman Dukuh Atas untuk melakukan berbagai orasi dan pertunjukan seni.
Krisis iklim ini menjadi permasalahan yang tak kunjung usai, banyaknya solusi-solusi yang dihadirkan pemerintah namun hasilnya nihil. Selain itu khalayak masyarakat juga masih belum begitu sadar bahwa krisis iklim ini semakin buruk. Seperti yang diorasikan oleh Novita dari Jeda Iklim.
“Tapi balik lagi masih ada di antara kita yang belum aware, karena mungkin kita punya privilese. Masalahnya jauh lebih besar dari itu dan dampak kerusakannya akan jauh lebih besar dari itu,” ungkap Novita.
Unjuk aksi ini berlangsung dengan tertib, satu hal yang menarik perhatian adalah para aktivis yang menggunakan kostum unik. Peserta aksi mengenakan kostum dengan warna merah yang melambangkan darah dan mereka juga berpenampilan seperti zombie atau mayat.
Tentu hal ini memiliki filosofi tersendiri, selayaknya yang dijelaskan oleh Extinction Rebellion Indonesia, Melisa Kowara, bahwa kostum ini mendeskripsikan pembangunan ekosistem sosial sudah diambang pintu kehancuran.
“Jadi memang arah pembangunan negara yang sekarang itu membawa kita ke kehancuran ekosistem dan keruntuhan sosial. Sering kita dengar 2045 emas, tapi itu omong kosong semua. Jadi kita datang hari ini, seakan-akan kita mati, kita menyadarkan mereka bahwa kebijakan sekarang yang dilakukan akan membunuh kita semua,” jelas Melisa.
Mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Wino juga turut menjelaskan makna filosofi kostum zombie berlumuran darah yang ia pakai.
“Tema dari kostum ini adalah barisan pasca kiamat, jadi kita udah saatnya berpikir bahwa kita mempunyai peran masing-masing untuk mengantisipasi dalam menahan perubahan iklim,” ungkap Wino.
Para masa aksi kostum zombie dan membawa poster krisis iklim (Sumber: DNK TV/Moch Rayhan Alwi)
Aksi ini memiliki beberapa tuntutan yang dilayangkan kepada para pemimpin atau pemerintah terutama untuk Presiden Indonesia, Joko Widodo untuk segera mendeklarasikan Indonesia darurat krisis iklim. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Koordinator Lapangan, Abrory Ben Barka bahwa ada empat tuntutan yang dilayangkan dan disuarakan.
“Pertama adalah mendorong pemerintah untuk mendeklarasikan darurat krisis iklim, selain itu kita juga mendorong pemerintah untuk membangun infrastruktur yang berketahanan iklim.”
“Mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang ambisius sesuai dengan kebijakan/perjanjian paris, lalu yang terakhir kita mendorong pemerintah untuk tidak lagi mengkriminalisasi aktivis lingkungan hidup dan menjamin kebebasan kita untuk berpendapat dalam menjaga lingkungan hidup,” sambung Ben.
Ben juga menyampaikan harapannya untuk pemerintah agar serius dalam menghadapi krisis iklim, karena saat ini kita sudah berada di krisis iklim. Selain itu Ben juga berharap kepada masyarakat diharapkan dapat bergandeng tangan untuk menjaga lingkungan hidup.
Aktivis
lingkungan Bersihkan Indonesia meluncurkan platform
kampanye #BersihkanBankmu untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat Indonesia
terutama nasabah bank nasional guna mendukung pemberhentian pendanaan pada
bisnis batubara yang sangat berdampak serius pada laju persoalan krisis iklim.
Bukan hanya itu, upaya pembuatan petisi pun juga direalisasikan.
Menanggapi
hal tersebut, Research and Program Manager Trend Asia Andri Prasetyo memaparkan
bahwa dalam kampanye ini masyarakat perlu mendukung upaya pencegahan persoalan
tersebut dengan mengisi sebuah petisi.
“Bermula
dari petisi kemudian yang lain-lain, mulai dari petisi itu kita bisa cari tau
lebih lagi, temen-temen bisa bantu dukung dengan petisi untuk mendorong
bank-bank untuk tidak lagi mendanai batu bara ini, supaya mereka sadar selama
ini tidak ada penekanan baik dari kebijakan maupun publik,” ucap Andri
saat siaran langsung di Instagram @bersihkanindonesia pada Rabu, (24/02).
Study Intitute for Energy Economics and Financial
Analysis (IEEFA) mengungkap terdapat seratus lembaga finansial global
yang telah memiliki kebijakan sebagai upaya untuk keluar dari pendanaan sektor
energi kotor batubara. Sementara, laporan Urgenwald (2020) menyebutkan terdapat
enam bank nasional Indonesia yang memilki portofolio pembiayaan untuk
perusahaan batubara dan hingga saat ini belum ada bank nasional di Indonesia
yang menyatakan secara terbuka mendukung kebijakan tersebut.
Masih
terdapat bank nasional maupun swasta yang mendanai proyek energi kotor di dalam
negeri. Salah satu alasannya, karena hingga kini kesadaran publik menekan
bank-bank tersebut dalam menghentikan pendanaan pada proyek yang ada belum
terbangun. Untuk itu, perlu adanya tekanan publik perihal pembiayaan energi
terbarukan agar dapat segera direalisasikan.
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan lapangan Greenpeace batubara memberikan daya rusak hampir di semua sendi kehidupan mulai dari lingkungan, kesehatan, sosial, serta ekonomi masyarakat. Selain itu, energi batubara atau fosil juga merupakan salah satu penyumbang paling signifikan terhadap emisi karbon global.
Kincir Angin, salah satu energi terbarukan yang
berkelanjutan. (freepik/@bearfotos)
Menanggapai hal tersebut, salah satu Nasabah Bank Mandiri, Andika Ramadhan merasa miris dan prihatin bahwa dana yang dikelola oleh bank dipergunakan untuk energi kotor.
Andika
menilai bahwa masyarakat serta nasabah perlu meningkatkan kepedulian akan
krisis iklim serta bersatu dalam melakukan aksi yang lebih masif untuk
memboikot dan menuntut bank yang terus mendukung proyek energi kotor. Karena
Bank juga seharusnya bisa mengelola perputaran keuangan dan investasi ke energi
terbarukan yang lebih baik.
“Kalau
sebagai nasabah sebenernya kalau sendiri, hanya satu orang keluar, ibaratnya
udah gak pakai bank tersebut, jadi kita udah tidak pakai pelayanan bank itu
terus pindah ke bank lain. Kayanya gak begitu berpengaruh, jadi mungkin memang
harus ada satu aksi masif untuk memboikot banknya, jadi menuntut, kemudian kita
mengancam, misalnya keluar dari situ (pengguna bank tersebut),”
pungkasnya.
Ia juga
berharap, pemerintah lebih tegas lagi kepada bank-bank nasional di Indonesia
untuk tidak mendanai sektor energi kotor atau batubara. Serta kedepannya
pemerintah juga harus lebih memerhatikan krisis iklim yang sedang terjadi, yang
mana pemerintah mengharuskan bank-bank mendanai energi terbarukan yang
berkelanjutan, sesuai dengan komitmen Indonesia pada Perjanjian Paris (2015)
untuk mencapai net zero emission pada
2060 mendatang.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, jumlah timbunan sampah yang berasal dari 200 kabupaten kota pada tahun 2021 mencapai 21,45 juta ton. Lebih dari 500.000 ton sampah plastik berakhir di laut.
Di samping itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya mengungkapkan adanya permasalahan dalam pengelolaan sampah di Indonesia mulai dari pembakaran sampah terbuka, pembuangan sampah sembarangan, hingga tidak adanya pemanfaatan gas metana (CH4) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Hal tersebut disampaikan Siti melalui pidato yang dibacakan oleh Wakil Menteri LHK, Alue Dohong pada Peringatan Peduli Sampah Nasional 2022, Senin (21/2).
“Masih ada aktivitas penurunan sampah yang salah seperti pembakaran sampah terbuka, pembuangan sampah sembarangan. Kurang maksimal pengelolaan sampah, tidak adanya pemanfaatan gas metan di TPA dan daur ulang sampah kertas yang masih minim,” ungkap Siti dalam pidato yang dibacakan Alue.
Masih dalam kesempatan yang sama, Siti juga mengatakan sampah merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Menurutnya, sampah bukan hanya buruk secara estetika, tetapi juga menjadi penyebab kualitas kondisi lingkungan menurun.
Ia juga mengatakan gas metan yang dihasilkan dari TPA berjumlah signifikan dan berkontribusi besar dalam menciptakan gas efek rumah kaca.
“Jumlah signifikan gas metan yang dihasilkan dari TPA, sampah mengambil peran besar di dalam menciptakan gas efek rumah kaca,” katanya.
Ilustrasi perubahan iklim. (freepik.com)
Bila diselidiki lebih jauh, pengelolaan sampah dapat berperan penting dalam upaya pengendalian perubahan iklim dan dampaknya.
Kepala Bidang Disaster Management Kelompok Pencinta Alam Arkadia UIN Jakarta, Muhammad Bayu Ajie mengatakan saat ini iklim mulai meresahkan karena dipengaruhi oleh pengelolaan sampah di bumi.
“Kita menyadari bahwa iklim saat ini sangat meresahkan. Mulai dari panas dan teriknya di musim kemarau hingga banjir dari hujan terus mengguyur pada saat musim hujan. Dari sini lah sampah dapat mempengaruhi Iklim,” katanya.
Bayu juga menuturkan berdasarkan penelitiannya, bahwa pemahaman pengelolaan sampah di tingkat masyarakat dengan perekonomian menengah ke bawah masih sangat minim.
”Memang benar adanya bahwa pemahaman pengelolaan sampah di tingkat masyarakat yang perekonomian menengah ke bawah itu masih sangat minim, sehingga banyak masyarakat masih membuang sampah sembarangan, membakar sampah,” tuturnya.
Menurutnya, untuk pengelolaan sampah yang tepat perlu adanya langkah Kolaboratif Penthalix.
“Pengelolaan sampah yang tepat menurutku harus adanya langkah Kolaboratif Penthalix yaitu kolaborasi yang merangkul 5 stakeholder di antaranya pemerintah, masyarakat, media massa, dunia usaha, dan akademisi,” jelasnya.
Selain itu, Pengkampanye Walhi Jakarta, Muhammad Aminullah pun angkat suara mengenai hal ini. Menurutnya, pengelolaan sampah justru tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
“Pengelolaan sampah gak bisa sembarang, misal pemerintah pakai teknologi termal buat mengelola sampah, itu justru berpotensi jadi masalah juga untuk lingkungan karena proses pembakaran sampahnya bisa memunculkan polutan,” ujar Aminullah melalui DNK TV pada Selasa, (22/2).
Ia berharap pemerintah berhenti mengolah sampah dengan teknologi-teknologi yang justru berpengaruh ke perubahan iklim.
“Harapannya pemerintah berhenti mengelola sampah dengan teknologi-teknologi yang justru pengaruh perubahan iklim, seperti Refuse Derived Fuel (RDF), insinerator, dan teknologi-teknologi termal lainnya. Dengan teknologi seperti itu, meskipun sampahnya habis tapi ada masalah lain untuk lingkungan,” pungkasnya.
Reporter Nisrina Fathin; Editor Fauzah Thabibah dan Tiara De Silvanita
Akun NFT Ghozali Everyday Sumber: Opensea.io
Sultan Gustaf Al Ghozali atau kerap disapa Ghozali Everyday, belakangan ini menjadi viral sebab swafoto yang ia unggah melalui Non-Fungible Tokens (NFT) mendapatkan harga jual tertinggi hingga mencapai 2 Ethereum atau senilai dengan Rp92,3 juta.
NFT merupakan aset digital berupa karya seni, atribut game hingga barang koleksi yang memiliki keunikan dengan bukti kepemilikan yang dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya. Non-Fungible sendiri memiliki makna sesuatu yang tidak dapat ditukarkan dengan sesuatu yang sebanding. Sedangankan Tokens bermakna kepemilikan yang dapat menguntungkan bagi pemiliknya.
Dengan melonjaknya pasar NFT menyebabkan terjadinya emisi karbon. Proof-of-Work (PoW) dengan intensif daya seperti Bitcoin dan Ethereum ternyata dalam prosesnya rakus energi sehingga menghasilkan emisi karbon yang tinggi, emisi ini disebut gas fee.
Seorang seniman digital, telah menganalisis 18.000 NFT dan menemukan bahwa rata-rata NFT memiliki jejak karbon yang setara dengan listrik lebih dari satu bulan untuk orang yang tinggal di Uni Eropa. Atau setiap transaksi yang dilakukan NFT dapat mengkonsumsi daya setara dengan berkendara sejauh 1.000 KM atau menerbangkan pesawat jet selama 2 jam.
Logo NFT Sumber: medium.com/mchplus
Emisi karbon yang digunakan dalam NFT ini dapat merusak ekosistem alam secara keseluruhan. Aktivis lingkungan meberikan perhatian pada kurangnya kesadaran di komunitas Ethereum karena dampak lingkungan yang dihasilkan oleh sistem konsensus Ethereum.
Perilaku yang mendorong tren NFT secara signifikan juga mendorong nilai Ethereum, penambang akan menaikkan lebih banyak mesin yang mereka gunakan. Lebih banyak mesin berarti lebih banyak polusi.
Jokowi Pamer Penanganan Krisis Iklim Indonesia di KTT COP26, Sesuai Fakta?
Reporter Anggita Fitri Chairunisa; Editor Ahmad Haetami
Presiden Jokowi saat berbicara pada KTT COP26. Sumber: presidenri.go.id
Presiden Joko Widodo mengatakan perubahan iklim adalah
ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Solidaritas, kemitraan,
kerja sama, kolaborasi global merupakan kunci.
Hal ini dikatakan Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) PBB tentang Perubahan Iklim COP26, yang digelar di Glasgow, Skotlandia,
pada Senin (1/11).
Presiden Jokowi menjelaskan bahwa dengan potensi alam yang
begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim.
“Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun
terakhir. Kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020,” ujarnya.
Tak hanya itu, Indonesia juga telah memulai rehabilitasi
hutan bakau seluas 600.000 hektar sampai 2024, terluas di dunia. Indonesia juga
telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2020-2019.
“Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia, akan mencapai carbon net sink selambatnya tahun 2030,” imbuhnya.
Presiden Jokowi saat tiba di arena KTT COP26, Glasgow, Skotlandia. Sumber: Instagram-@jokowi
Menanggapi pidato yang telah disampaikan Presiden Jokowi
mengenai perubahan iklim di KTT COP26, mahasiswa UIN Jakarta Hendry Hermawan
menilai bahwa pernyataan tersebut berlawanan dengan apa yang terjadi di
lapangan.
“Menurut saya apa yang disampaikan oleh Pak Jokowi mengenai
perubahan iklim dan mengenai deforestasi yang menurun secara drastis itu sangat
kontradiksi atau berseberangan dengan apa yang terjadi di lapangan. Sebab,
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia merilis bahwa terjadi peningkatan yang
sangat signifikan, yang sebelumnya sekitar 1,1 juta jadi meningkat 1,4-1,7 juta
per 2013-2017,” jelasnya.
Menurutnya, perubahan iklim yang cepat dan deforestasi yang meningkat disebabkan karena kebijakan-kebijakan yang memengaruhi hal tersebut, mulai dari maraknya penebangan hutan, dan pembukaan lahan yang besar.
Ia juga menyampaikan hal-hal yang dapat dilakukan oleh
generasi muda melawan krisis iklim, yaitu dimulai dari diri kita sendiri.
“Yang pertama adalah mulai dari diri kita sendiri untuk tidak membuang sampah sembarangan, sebab hal kecil ini akan membantu kita untuk mencegah krisis sampah yang dapat mengganggu keanekaragaman hayati. Yang kedua dengan cara pembebasan lahan dan pengurangan penebangan hutan yang liar, itu menjadi upaya kita bersama untuk memperjuangkan penghijauan kembali, dan tidak seenaknya membuka lahan dengan cara yang tidak sesuai dengan prosedur,” pungkasnya.
Oleh Nurdiannisya Rahmasar; Editor Tiara De Silvanita
Ilustrasi perubahan iklim Sumber: Google Picture
Krisis iklim atau climate crisis terus menjadi masalah dunia saat
ini. Pada sidang umum PBB 2020 lalu, para pemimpin dunia diminta untuk
menetapkan status darurat iklim di semua negara hingga tercapai netralitas
karbon.
Berdasarkan studi terbaru, krisis iklim diperkirakan akan memperburuk
pemanasan global pada dua puluh tahun mendatang. Hal ini seperti dilansir dari
Science Alert, Jumat (20/08) lonjakan dalam klorofluorokarbon (CFC) akan
meruntuhkan lapizan ozon dunia pada tahun 2040-an.
Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC),
Indonesia adalah salah satu negara yang akan mengalami dampak luar biasa dari
krisis iklim, mulai dari pemanasan global, kebakaran hutan, hingga kenaikan
permukaan laut. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara kepulauan
yang berpotensi mengalami ancaman nyata.
Oleh karenanya, urgensi terhadap kesadaran krisis iklim perlu digiatkan
agar masyarakat terutama para pelajar peduli dan mampu secara kolektif untuk
melawan dan keluar dari kondisi ini. Sayangnya, Indonesia memiliki persentase
penyangkal iklim atau climate denier tertinggi dalam survei
tahun 2020 di 26 negara.
Ini menunjukkan bahwa penyebaran informasi mengenai penyebab, dampak, dan
langkah untuk menghadapi perubahan iklim perlu segera digencarkan karena
kondisi iklim sudah semakin darurat.
Upaya penyadaran akan dampak krisis iklim kepada kaum muda
(pelajar/mahasiswa) dapat dilakukan oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dan Kementerian Agama (Kemenag)
dengan menyebarluaskan informasi melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti
sekolah maupun perguruan tinggi.
Program Pendidikan Iklim perlu dicanangkan oleh lembaga penyelenggara
pendidikan negara, dikarenakan program ini memiliki tujuan utama yaitu untuk
membangun masa depan yang berkelanjutan, menginspirasi untuk bertindak, dan
mempraktikkan keterampilan yang memengaruhi di tingkat sosial dan pribadi.
Mahasiswa UIN Jakarta Antari Fitra Devi menanggapi petisi tersebut dapat mengusahakan anak-anak dan remaja menjadi lebih
peka terhadap dampak perubahan iklim melalui pendidikan.
“Misalnya peningkatan kesadaran mengenai
mitigasi perubahan iklim, adaptasi, pengurangan dampak serta peringatan dini
kepada anak-anak. Mitigasi perubahan iklim misalnya pengelolaan sampah, limbah
padat dan cair, penggunaan hemat energi yang terbarukan, mencegah terjadinya
penggundulan lahan atau penebangan dan kebakaran hutan,” terangnya, Minggu (22/08).
Generasi mendatang perlu dilengkapi dengan pemahaman dan keterampilan untuk proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan dan pekerjaan ramah lingkungan di masa depan. Pendidikan Iklim ini akan memberikan kemampuan kepada setiap anak muda untuk berkontribusi pada masyarakat yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Oleh Tiara De Silvanita; Editor Nur Arisyah Syafani
Bencana ekstrem dampak dari krisis iklim Sumber: instagram-Karmagawa
Apa yang terjadi apabila kenaikan suhu bumi melewati ambang batas
1,5 derajat celcius?
Kita merasakan bagaimana bumi menjadi semakin panas dari hari
ke hari, cuaca yang makin tak menentu, hingga bencana yang semakin sering
terjadi. Banjir ekstrem yang saat ini terjadi di sejumlah negara Eropa dan Cina
adalah bukti nyata krisis iklim mengganggu kestabilan alam.
Seperti dampaknya, penyebab dari krisis iklim pun berskala
global. Sistem antar negara yang dipimpin oleh oknum dengan konflik kepentingan
masing-masing. Memprioritaskan pertumbuhan ekonomi segelintir dari sektor
ekstraktif dan energi fosil yang secara langsung mengorbankan ekosistem, flora,
fauna, bahkan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Komitmen
Nihil Perjanjian Paris
Hampir
6 tahun berlalu sejak penandatanganan Perjanjian Paris, tak satupun negara
industri yang berada di jalur untuk memenuhi komitmennya.
Dalam Perjanjian Paris, semua negara dengan mempertimbangkan prinsip Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities, diharuskan membuat kebijakan dan aksi iklim untuk mencegah suhu bumi tidak melewati ambang batas 2 derajat celsius dan berupaya maksimal untuk tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celcius dibandingkan masa pra industri.
Kurva kenaikan suhu bumi dari rata-rata masa pra industri. Ambang batas kenaikan suhu berdasarkan IPCC (2018) adalah 1,5 derajat celcius. Sumber: Youtube-Earthrise
Tertuang dalam Laporan Khusus Lembaga Panel Ahli
Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2018, menunjukkan target 2
derajat celsius dikatakan terlambat menghindari bencana iklim. Dalam hal ini,
melewati ambang batas 1,5 derajat celcius saja dampaknya sudah signifikan.
Perbedaan 0,5 derajat celcius menyebabkan konsekuensi fatal bagi penduduk bumi
dan ekosistem.
Krisis Iklim Tidak Pernah Adil
Masih dalam laporan IPCC, kemiskinan akibat krisis ikllim akan melanda 50% penduduk bumi. Hal ini secara signifikan memperparah risiko bagi ratusan juta orang akibat kekeringan, banjir, suhu panas ektrem dan kelangkaan pangan.
Peta sebaran negara penghasil emisi (indikator merah artinya penghasil tertinggi)Peta sebaran negara yang terdampak krisis iklim (indikator merah artinya paling terdampak) Sumber: Youtube-Earthrise
Dalam peta sebaran di atas, menunjukkan bahwa negara-negara
yang berkontribusi menghasilkan emisi di dunia dalam jumlah besar memiliki ‘risiko kecil’ terdampak krisis iklim.
Sebaliknya, negara yang menghasilkan emisi lebih rendah, yaitu
negara-negara di belahan bumi selatan atau notabene disebut negara dunia ketiga
malah akan merasakan dampak lebih parah.
Agar lebih jelas lagi, mari perhatikan wilayah Indonesia.
Dalam peta sebaran tersebut, Indonesia diwarnai ‘hijau menuju oranye’ artinya sumbangan emisi Indonesia
terhadap dunia lebih rendah dibanding negara lain yang berwarna ‘merah’.
Namun mirisnya, dampak yang akan dirasakan Indonesia akibat
krisis iklim diindikatorkan ‘merah’ atau ‘risiko tinggi’.
Tentu dari sini kita sudah melihat angka-angka ketimpangan
bukan?
Kondisi geografis Indonesia sangat rentan terhadap perubahan
iklim ekstrem dan kenaikan muka air laut, dengan garis pantai terpanjang kedua
di dunia dan puluhan juta orang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil, risiko
tersebut menjadi berlipat ganda.
Proyeksi dari Climate Central menyebutkan
bahwa, setidaknya 23 juta orang di Indonesia akan terdampak langsung dan
dipaksa menjadi pengungsi internal jika kenaikan muka air laut mencapai 0,6 – 2
meter di akhir abad.
Fenomena tersebut sudah dialami oleh masyarakat garis depan
yang terdampak krisis iklim, seperti di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, yang
dihantam banjir rob dua kali di tahun 2020, hal yang belum pernah terjadi
selama 65 tahun terakhir.
Komunitas nelayan di pesisir Nambangan dan Cumpat, Surabaya
yang dihantam “angin
timur pamitan” yang
menyebabkan gelombang tinggi dan banjir rob serta merusak puluhan kapal
nelayan.
Desa Matawai Atu, di pesisir Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur
yang tergerus abrasi hingga 100 meter. Merupakan sedikit gambaran dari rentetan bencana lain yang akan
menyusul. Inilah mengapa krisis iklim tidak pernah adil terlebih terhadap
masyarakat yang hidup dalam garis kemiskinan.
Masalah Besar Butuh Solusi Besar
Melihat tren pembicaraan di kanal sosial media masih condong
pada berita yang sifatnya entertainmet, seperti gosip influencer,
Korean Pop, prank dan ribuan program lainnya yang serupa. Hal ini
merupakan tamparan kenyataan bahwa topik krisis iklim belum menjadi pembicaraan
yang digandrungi di tengah masyarakat.
Padahal urgensi membentuk opini publik untuk menekan pemangku
kebijakan agara tidak abai dalam menangani krisis iklim amatlah penting.
Penelitian Stephan dan Chenoweth (2008) menunjukkan bahwa dibutuhkan 3,5% dari populasi untuk merubah suatu sistem yang rusak. Itu sebabnya, sebagai masyarakat sipil, kita butuh jalan bersama-sama mendorong pemerintah agar mendeklarasikan darurat iklim.
Aksi teatrikal yang menggambarkan masa depan penuh darah akibat krisis iklim. Sumber: Dok. Extinction Rebellion Indonesia
Generasi kita memiliki pilihan dan sebagai garda terakhir sebelum kepunahan homo sapiens terjadi. Tidak ada satupun individu yang bisa disalahkan atas keadaan saat ini. Sistem rusak yang membawa kita pada kehancuran ekologis saat inilah yang harus diubah.