Overdosis Nasionalisme Penyebab Tragedi Holocaust
Reporter Jenni Rosmi Aryanti; Editor Latifahtul Jannah

Lembaga Non-Pemerintah Directions yang dibentuk oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta menggelar webinar untuk memperingati Hari Penghapusan Diskriminasi Ras Internasional dengan topik “Holocaust Tragedy: Pembunuhan Massal Etnis Yahudi Di Eropa Oleh Nazi Jerman” melalui Zoom Meeting pada Kamis (24/3).
Materi disampaikan oleh Luthfi Ridzki Fakhrian merupakan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta 2022 dan dihadiri oleh lebih dari 80 peserta yang sebagian merupakan mahasiswa jurusan Hubungan Internasional UIN Jakarta.
Dalam pemaparan materi Luthfi menjelaskan Tragedi Holocaust merupakan peristiwa paling kelam yang terjadi di benua Eropa. Tragedi ini menewaskan kurang lebih 6 juta jiwa kaum Yahudi yang dipimpin oleh seorang diktator bernama Adolf Hitler dari rezim Nazi (Nationalsozialismus) Jerman.
Holocaust berasal dari bahasa Yunani yaitu Holos yang berarti utuh dan Kaustos yang berarti terbakar. Secara historis Holocaust merupakan gambaran korban persembahan yang dibakar di atas alter. Hal tersebut direpresentasikan pada orang-orang Yahudi yang dibantai di kamp-kamp yang dibangun pada perang dunia kedua. Namun, tidak hanya orang-orang Yahudi melainkan terdapat orang-orang Gipsi dan Slavia yang turut menjadi korban.
Munculnya Holocaust adalah hasil dari pemikiran-pemikiran pada abad pertengahan. Di mana pada abad pertengahan, teosentrisme yaitu konsep Tuhan adalah yang utama menguasai dataran Eropa. Pemikiran ini berangsur-angsur hingga berubah menjadi antroposentrisme di mana manusia menjadi pusat dari segalanya dan lahirlah humanisme di Eropa.
“Kita harus merenung dan berpikir terlebih dahulu atas lahirnya antroposentrisme ini hingga akhirnya humanisme di era modern ini. Itu sebenarnya banyak menjadi sesuatu yang mempengaruhi lahirnya Holocaust dan pemimpin-pemimpin seperti Hitler,” ujar Luthfi.

Menurut Luthfi humanisme yang lahir pasca abad pertengahan atau masa antroposentrisme ini lebih mendefinisikan bahwa berpikir harus dari diri sendiri sehingga melahirkan orang-orang yang individualis dan memunculkan sikap-sikap yang berlebihan.
“Di era modern ini juga melahirkan orang-orang yang memiliki pemikiran seperti salah satu penulis yang dalam bukunya terdapat gagasan bahwa seorang pemimpin dapat melakukan berbagai macam cara untuk mempertahankan kekuasaannya,”
Jauh sebelum Tragedi Holocaust terjadi, Eropa sendiri sering terjadi konflik antara kepentingan agama dan kepentingan etnis. Orang-orang Eropa menganggap orang-orang Yahudi bukan bagian dari mereka.
Faktor Hitler naik kekuasaan adalah Nazi mempunyai pengaruh karena saat itu terdapat krisis di Jerman yang kalah pada Perang Dunia ke-1. Nazi muncul menawarkan ideologi baru yang menyalahkan suatu kelompok (menjadi kambing hitam) bahwa Jerman kalah karena kelompok tersebut. Hitler sebut Jerman kalah karena orang-orang Yahudi. Karena hal tersebut, Hitler berhasil mempengaruhi rakyat Jerman dan membawa ideologi ini ke Jerman yang di mana saat itu rakyatnya mengalami krisis kepercayaan kepada pemimpin.
Tindakan yang dilakukan Hitler atas terjadinya Tragedi Holocaust membuat Jerman hingga sekarang tetap berusaha menebus dosa bahkan memberikan kucuran dana kepada orang Yahudi.
“Ini sebenarnya menjadi suatu ironi, maksudnya jika kita berkaca pada negara kita sekarang, berapa banyak korban kekerasan politik yang mana hak asasi dan hak politiknya banyak dicabut bahkan masih banyak tragedi-tragedi kemanusiaan yang sampai kini negara kita belum mampu meminta maaf pada sejarah.” Pungkas Lutfhi atas tanggapannya terhadap kaitan Tragedi Holocaust dengan tragedi kemanusiaan di Indonesia.