CBX 2020 : Creatalk “Digital Era: Think it, Make it, Get it!”
Host Citra (kiri) dan Narasumber Rana Rayendra (kanan), dalam Creatalk: Think it, Make it, Get it. (11/10/2020)
Campus Broadcasting Expo (CBX) merupakan acara tahunan Dakwah dan Komunikasi Televisi (DNK TV) UIN Jakarta yang memiliki rangkaian acara mulai dari perlombaan, seminar hingga talkshow. Creatalk merupakan talkshow sekaligus rangkaian puncak dari perhelatan CBX 2020. Creatalk dilaksanakan secara virtual melalui Zoom Cloud Meeting , Minggu (11/10).
Dihadiri oleh lebih dari 300 peserta dari seluruh Indonesia. Dengan mengusung tema “Digital Era : Think it, Make it, Get it!”, acara ini membahas tips sukses berkarya di era digital bersama dua narasumber, Co Founder & CEO Bicara Project serta Creative Digital Content , Rana Rayendra,dan Content Creator sekaligusYoutuber, Aulion.
Rana Rayendra menuturkan bahwa tanpa kita sadari setiap hari kita membuat sebuah konten, mulai dari skala kecil seperti story Instagram, karena setiap yang kita mengunggah ke sosial media, itu adalah konten. Melalui unggahan cerita, kita sendiri sudah membangun personal branding diri untuk pengikut di sosial media.
“Personal Branding bukan menjadi orang lain tapi kita create diri kita agar bisa berdampak bagi orang lain, maka jadilah anak muda yang berdampak positif dan bermanfaat.” Tutur Rana Rayendra.
Content creator, Aulion memaparkan bahwa untuk memulai sebuah konten yang bagus, maka harus dimulai dari konten yang beruhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, karena segala aktifitas mulai dari kita bangun tidur hingga tidur lagi bisa menjadi sebuah konten. Aulion juga berpesan bahwa salah satu yang bisa dilakukan seorang content creator untuk Indonesia adalah dengan memberikan sebuah konten yang bermanfaat.
Host Citra (kiri) dan Narasumber Aulion (kanan), dalam Creatalk: Think it, Make it, Get it, (11/10/2020).
“Gak usah banyak teori, langsung aja praktek, ketika kita mulai kurang konsisten dalam membuat sebuah konten, coba berkaca aja dari kegiatan di sekitar kita, banyak ko inspirasi yang bisa kita angkat jadi konten. Dan jangan pernah lupa visi kita diawal buat konten untuk apa” Ujar Aulion menyampaikan tips suksesnya.
Di penghujung acara, Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Suparto, mengatakan bahwa setiap era memiliki warna-warni tersendiri. Hal ini untuk menunjang kreativitas di setiap zaman. Suparto juga memberikan apresiasi terhadap acara CBX 2020 yang tetap berjalan meski di tengan pandemi Covid-19 dengan melakukan inovasi kegiatan melalui media daring.
Bedah buku Jungkir Balik Pers dan Webinar Nasional : “Jurnalisme di Masa Pandemi Covid-19″
Gun Gun Heryanto, Dewan Pembina P2KM & Dosen Komunikasi Politik Fidikom UIN Jakarta dalam “Bedah Buku Jungkir Balik Pers
Pusat Pengkajian
Komunikasi dan Media (P2KM) Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyelenggarakan diskusi ketiga bertajuk “Bedah
buku Jungkir Balik Pers dan Webinar Nasional : Jurnalisme di Masa Pandemi
Covid-19” pada Kamis, (7/10/2020). Webinar ini dihadiri oleh tiga narasumber
diantaranya Penulis Buku & Pemimpin Redaksi Republika 2010-2016, Nasihin
Masha, Pakar Komunikasi Politik, Dewan Pembina P2KM & Dosen FIDIKOM UIN
Jakarta, Gun Gun Heryanto , Presiden KJB Indonesia & Public Speaker,
Nikmatus Sholikah. Juga ada sambutan dari Guru Besar Ilmu Komunikasi sekaligus
Wakil Rektor Bidang Kerjasama UIN Jakarta, Andi Faisal Bakti, Dekan Fidikom UIN
Jakarta, Suparto, dan General Manager Republika Penerbit, Syahruddin El Fikri
yang dipandu oleh host Deden Mauli Drajat serta moderator Dedi Fahrudin.
Syahrudin
El Fikri mengatakan bahwa buku Jungkir Balik Pers ini sudah terbit sejak
bulan September kemarin. Konten di dalamnya sangat memberikan gambaran bagaimana
perjalanan jurnalis dan pers di Indonesia.
Selanjutnya, Andi Faisal
Bakti sangat merekomendasikan buku ini kepada mahasiswa komunikasi. Dimana buku
ini ditulis dengan bahasa yang mudah untuk dipahami.
“…Agaknya buku ini mencoba
untuk menelusuri perjalanan pers utamanya di Indonesia. Pers sebagai sumber
informasi, kemudian pada masa disrupsi, masa informasi pers digital, kemudian
ada transformasi dalam mencari informasi di kalangan publik yang lalu
berlangganan koran sebagai sumber informasi, kemudian berubah orang untuk
mencari sumber informasi selain koran. Saya pikir ini juga mewarnai jungkir
balik pers.” Ungkap Suparto
Selanjutnya, masuk pada
sesi diskusi bedah buku yang di awali oleh Penulis
Buku & Pemimpin Redaksi Republika 2010-2016, Nasihin Masha mengatakan bahwa
tema pada diskusi ini menjadi sebuah perspektif dari salah satu sisi dalam buku
ini.
“Pers
pada masa corona ini setidaknya ada empat isu yang bisa di diskusikan
oleh mahasiswa. Dari sisi konten itu sendiri bagaimana pers melihat corona ini
menulis apa saja atau meliput apa saja, lalu bagaimana sudut pandang politik
pemberitaannya, lalu isu yang diangkat itu jelas antara economy first atau public safety first , bagaimana
dampak pandemik terhadap isu-isu pers tersebut secara ekonomi…” Ungkap Nasihin
Selanjutnya, Dewan Pembina P2KM & Dosen Fidikom UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto mengungkapkan dalam buku ini menyodorkan bahwa media itu bukan ruang hampa, memberikan perspektif ruang pergulatan wacana media yang kompleks. “Konteks dinamis pers dalam membaca tema kali ini menurut saya ada empat, demokrasi semakin terbuka yang kemudian setiap orang memanfaatkan freedom ini dengan caranya
masing-masing, kemudian yang kedua konvergensi media multi-platform yang kemudian sangat signifikan pengaruhnya, kemudian konsentrasi media terutama adanya konglomerasi, kemudian yang terakhir ada persoalan yang berkaitan dengan bencana non alam yaitu pandemi.” Ungkap Gun Gun.
Media
itu turut memberikan sosialisasi nilai, peradaban, kemudian dalam beberapa hal
menjadi sumber pengetahuan bagi masyarakat. Di sisi lain media berperan sebagai
aktor politik, yang mana media adalah infrastruktur. Salah satu yang menjadi
penggerak perubahan di dunia adalah media.
“…Tradisi
membaca koran mulai tergerus, melihat time per day spent using internet
Indonesia hampir 7 jam, yang sangat mengubah banyak hal dalam proses konsumsi
informasi, Jangan sampai di tengah pandemi ini media sebagai bagian mata rantai
sumber hoax. Peran pers harus menjadi partisipan demokratis..” Ujar
Gun Gun.
Selanjutnya,
Presiden KJB Indonesia & Public Speaker, Nikmatus Sholikah mengungkapkan di tengah
pandemi ini jurnalis sebagai titik nadi informasi publik.
Permasalahan yang terjadi
pada jurnalis di masa Covid-19 ini adanya tekanan psikologis jurnalis. Dilansir
dari Center of Economy Development Study (CEDS) 45,92% wartawan
mengalami gejala depresi dan 57,14% wartawan mengalami kejenuhan umum, Angle
berita yang monoton, ketimpangan informasi, dan ancaman PHK.
“… Jadi jurnalis ini
sebuah pekerjaan sekaligus amanah yang luar biasa dengan berbagai kondisi
mereka tetap harus melakukan peliputan, garda terdepan bukan hanya seorang di
bidang kesehatan, jurnalis juga perlu diberi atensi di mana pentingnya jurnalis
di masa pandemi.” Ungkap Nikmatus
Pers sebagai pihak yang
penting dalam memberi suara, yang memberi penerang dalam proses kehidupan
masyarakat. Posisi pers menjadi sangat signifikan dalam kondisi saat ini
melawan banyaknya berita hoax. Diharapkan Pers tetap harus memegang
teguh sebagai teman dalam perjalanan peradaban manusia.
CBX 2020 : Transformasi Televisi Menuju Media Masa Depan
Narasumber Seminar CBX 2020: Transfomasi Televisi Menuju Media Masa Depan
Campus Broadcasting Expo merupakan acara tahunan dari Dakwah dan Komunikasi Televisi (DNK TV) memiliki berberapa rangkaian acara. Salah satu adalah Seminar Nasional daring yang dilaksanakan melalui Zoom Meeting pada Sabtu (10/10). Dengan mengusung tema “Transformasi Televisi Menuju Media Masa Depan”, seminar ini membahas tentang upaya industri televisi dalam menghadapi tantangan di era digital dan langkah relevan yang dapat diambil untuk membuat televisi tetap eksis di tengah kemajuan teknologi.
Komisioner KPI
Pusat, Mohamad Reza menuturkan, banyak sekali manfaat dari adanya penyiaran
digital, baik dari sisi konsumen, penyelenggara televisi, industri maupun
pemerintah.
Moderator Alsifa Citra (kiri) dan narasumberMohamad Reza (kanan) menyampaikan materi mengenai Komisi Penyiaran Indonesia dalam memandang digitalisasi media khususnya televisi.
“Banyak juga blank spot (daerah yang tidak terjangkau sinyal), sehingga butuh yang digital. Dengan penyiaran digital, dengan konsumsi power lebih sedikit, maka jumlah yang terjangkau bisa lebih jauh dan banyak” ucapnya.
Ketua Asosiasi
Sutradara Televisi Indonesia sekaligus Program Director RCTI, Agung Cahyono
mengatakan bahwa media televisi Indonesia akan terus berkembang dan beradaptasi
mengikuti perubahan teknologi. Televisi akan tetap mendapat tempat di penonton,
apalagi dengan jangkauan yang lebih luas menjangkau seluruh Indonesia.
“Apa yang dilakukan media televisi agar media tersebut tidak mati, yakni pertama, dengan membuat konten yang menarik dan positif serta berunuansa Indonesia, kedua, bersinergi dan bekerjasama serta mendapat dukungan penuh dari pemerintah, dan juga memiliki tayangan yang inovatif dan kreatif” ungkapnya.
Executive
Produser Narasi TV, Firza Arifien berpesan untuk tidak lelah dalam berkarya.
Walaupun ada keterbatasan di masa pandemi ini, kita harus tetap kreatif dan
berkontribusi memberikan suatu yang positif, serta yakin bahwa masa depan dunia
penyiaran Indonesia akan dapat berubah di tangan kita.
Penampilan salah seorang peserta News Presenter Competition.
Campus Broadcasting Expo (CBX) yang rutin
diadakan setiap tahun oleh DNK TV, kembali digelar. Dengan mengusung tema “The
Future of Media is Yours”, acara ini dilaksanakan secara daring mengingat
pandemi belum berakhir. News Presenter Competition yang bertemakan “Pandemi
Covid-19” menjadi salah satu lomba untuk memeriahkan acara CBX 2020 dengan juri
Fandi Hasib, News Anchor INews TV dan juga Karra Syam, News Anchor TV One.
Babak ke dua yang menyisakan 10 peserta lomba
terbaik, dilaksanakan pada hari Jum’at (9/10) melalui aplikasi zoom. Di babak
ini, para peserta harus tampil dengan membawakan dua paket berita, yaitu hard
news dan soft news yang telah disediakan oleh panitia dengan durasi tujuh
menit.
Dalam komentarnya, Fandi Hasib dan Karra Syam
memberikan tips dan trik menjadi seorang News Presenter berdasarkan pengalaman
mereka. Kunci utama menjadi News Presenter adalah kemauan untuk belajar, meski
belum memiliki kemampuan.
Karra Syam memberikan tips menjadi News Presenter kepada peserta.
Menurut Karra, kemampuan akan terasah seiring
berjalannya waktu. “Belajar menjadi seorang News Presenter berarti harus belajar
gimana cara pelafalan, intonasi, mimik, dan gestur tubuh yang tepat dalam
membawakan berbagai jenis berita. Jangan pas membawakan berita sedih, tapi
ekspresinya seneng. Minta orang lain buat menilai penampilan kita, biar bisa
dievaluasi.”
Di sesi akhir acara, dewan juri juga membagikan
pengalamannya dalam meraih karir menjadi seorang News Presenter. Fandi mengakui,
bahwa ia dulu rajin untuk membuka situs-situs web stasiun televisi dengan
tujuan mencari lowongan perkerjaan.
“Dulu saya sering buka-buka situs web stasiun
TV dan rajin apply kemanapun. Saya yang dari daerah, akhirnya dipanggil karena
dapet kerjaan di stasiun TV lokal. Dari lokal dulu, baru nanti stasiun TV
nasional”, ujarnya.
Disamping mendapatkan pengalaman, dengan adanya
acara ini semua peserta diharapkan memperoleh ilmu-ilmu baru mengenai bagaimana
menjadi seorang News Presenter langsung dari ahlinya.
Moderasi Beragama : Menguatkan Akar Keagamaan dalam Konteks Bhineka Tunggal Ika
Dalam
memperdalam pemahaman mengenai moderasi
beragama, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta menyelenggarakan Kuliah Umum Moderasi Beragama bertajuk
“Moderasi
Beragama : Menguatkan Akar Keagamaan dalam Konteks Bhineka Tunggal Ika”
pada
Kamis, (8/10/2020) yang dihadiri oleh
486 peserta terdiri dari civitas akademika maupun
umum. Kuliah umum ini dihadiri oleh Wakil
Rektor III Bidang Kemahasiswaan UIN Jakarta, Masri
Mansoer, Dekan Fidikom UIN Jakarta, Suparto, dan 3
narasumber diantaranya Arief Subhan, Ilyas Ismail, dan Edi Amin. Ketiganya
merupakan Dosen Fidikom UIN Jakarta.
Kuliah
umum tersebut dibuka secara resmi oleh
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Masri
Mansoer. Masri menuturkan banyaknya pemahaman tentang agama Islam
disebabkan adanya pengaruh dari luar yang masuk ke Indonesia.
“Sejak
awal Islam di Indonesia sudah menjadi Islam moderat, namun pengaruh dari luar
yang mulai masuk ke Indonesia menjadikan Indonesia memiliki banyak pemahaman
tentang agama Islam” tuturnya dalam pembukaan kuliah umum Moderasi Beragama.
Arief
Subhan menjelaskan Moderasi Beragama dan Komitmen Kebangsaan.
Ia menuturkan bahwa saling memahami perbedaan merupakan kunci
dalam moderasi beragama.
“Kuncinya
saling memahami.perbedaan, bahwasanya umat manusia merupakan ummatan
wasaton yaitu sebagai wasit dalam sebuah pemahamanModerasi Beragama dan Komitmen Kebangsaan”, Ujarnya
Ilyas
Ismail menjelaskan Moderasi Islam Melawan Radikalisasi dan Liberalisasi
Agama. Ia menganggap bahwa perbedaan
bukan
sebuah persoalan masyarakat, melainkan keragaman atau ke-Bhinekaan Indonesia merupakan nikmat
yang harus dijaga agar menjadi rahmat bukan laknat. Hal inilah yang menjadi
latar belakang moderasi beragama.
“Pembudayaan moderasi Islam harus mengubah paradigma
masyarakat agar menjadikan perbedaan sebagai rahmatan lil alamin, yaitu
berbuat baik bukan hanya kepada orang Islam akan tetapi berbuat baik kepada
seluruh umat.” Ujarnya.
Edi Amin dalam pemaparannya mengenai Moderasi Beragama Persepektif
Pemikiran dan Gerakan Dakwah Transnasional menjelaskan bahwa dalam memahami moderasi beragama, penggabungan ilmu filsafat dari ulama
terdahulu dengan science modern sangat diperluakan.
“Perpaduan pemahaman kedua hal tersebut
harus berlangsung secara maksimal agar
meminimalisir terjadinya paham radikal. Dakwah nur sebagai dakwah Islam moderat
sangat baik dalam membangun komunitas yang moderat dan wasathiyah” ujar Edi.
Dengan adanya kuliah umum mengenai moderasi beragama diharapkan menjadi bekal bagi umat manusia agar dapat membedakan golongan kanan, golongan kiri, dan menjadi umat wasathon. Selain itu, juga dapat menumbuhkan moderasi beragama dengan menerapkan sikap toleransi terhadap keberagaman. Hal ini tentunya bertujuan untuk menjadi umat yang Rahmatan lil ‘alamin.
Urgensi Pembinaan Baca Tulis Al-Qur’an di Era Milenial dan Launching Pusat Kajian Taklim Al-Qur’an
Poster Launching Pusat Kajian Taklim Al-Qur’an dan Webinar Urgensi Pembinaan Baca Tulis Al-Qur’an di Era Milenial
UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta meresmikan Pusat Kajian Taklim Al-Qur’an (Puji Taklim Al
Qur’an) sekaligus menggelar Webinar (Web Seminar) bertajuk “Urgensi Pembinaan
Baca Tulis Al-Qur’an di Era Milenial” pada Senin (05/10). Webinar ini dihadiri
oleh empat narasumber, diantaranya Andi Faisal Bakti, Wakil Rektor Bidang
Kerjasama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Said Agil Munawwar, Guru Besar
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Faizah Ali Syibromalisi, Ketua
Pusat Kajian Taklim Al-Qur’an UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Hasanuddin
Sinaga, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Acara ini
dilaksanakan secara virtual melalui aplikasi Zoom dan disiarkan langsung di
Youtube Berita UIN TV.
Puji Taklim
Al-Qur’an didirikan melalui SK Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 7
September 2020. Lembaga ini bergerak dalam pembinaan dan penguatan kemampuan
baca tulis Al-Qur’an di lingkungan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Amany Lubis – Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Acara dimulai
dengan peluncuran Puji Taklim Al-Qur’an oleh Amany Lubis, Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Amany menyampaikan bahwa berdirinya Puji Taklim Al-Qur’an
ini bertujuan untuk mewadahi semua kegiatan terkait Al-Qur’an, terkait dengan
tilawah, menafsirkan, mengamalkan, memahami serta semua kreativitas dan inovasi
yang bisa dilakukan di lembaga ini.
“Tujuan dari
pendirian Puji Taklim Al-Qur’an ini, diantaranya mengajarkan baca tulis
Al-Qur’an kepada para pemuda, civitas akademik juga masyarakat umum kemudian
menafsirkan dan mendiskusikan berbagai aspek Al-Qur’an. Puji Taklim ini juga
menjadi wadah untuk para da’i dan guru agama untuk lebih fasih membaca dan
memahami Al-Qur’an serta menjadi ahlul Qur’an.” Ungkap Amany.
Said Agil Munawwar – Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam rangka
pengenalan dan sosialisasi terbentuknya Puji Taklim Al-Qur’an, maka webinar ini
menitikberatkan pada urgensi pembinaan baca tulis Al-Qur’an di era milenial. Said
Agil Munawwar menyampaikan keresahan terkait ketidaklancaran dalam membaca
Al-Qur’an yang dialami oleh mahasiswa, terutama yang berada di bawah naungan
Institut Agama Islam. Oleh karena itu, dengan diresmikannya Puji Taklim Al-Qur’an
ini, beliau mengungkapan kebahagiaannya.
“Saya sangat
berterima kasih kepada Ibu Rektor yang sudah meresmikan suatu lembaga yang akan
dijadikan sebagai pusat kajian, baik kajian memperkenalkan berbagai metode,
membaca, menghafal dan memahami terjemah Al-Qur’an.” Ungkap Said.
Berdasarkan
data BPS tahun 2018, sebesar 58, 57% umat Muslim di Indonesia masih buta aksara
Al-Qur’an. Adapun survei yang dilakukan oleh Institut Ilmu Al-Qur’an tahun 2018
juga menyebutkan bahwa 65% umat Muslim di Indonesia masih buta aksara
Al-Qur’an. Kaitannya dengan milenial yang jumlahnya berkisar 87 juta populasi
di Indonesia ini, yaitu memiliki kecenderungan kepada internet dan smartphone,
maka hal ini harus ditinjau dan disesuaikan, bagaimana metode pembelajaran
Al-Qur’an yang tepat di era milenial saat ini.
Hasanuddin Sinaga – Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Selanjutnya, Hasanuddin
Sinaga menyampaikan model pembelajaran baca tulis Al-Qur’an yang tepat di era
milenial.
“… yang sudah
kita kenal, banyak metode-metode pembelajaran baca tulis Al-Qur’an itu, seperti
metode Baghdadiyah, yaitu bagaimana membaca Al-Qur’an dengan cara mengeja. Ada pula
metode yang lain, misalnya metode qiro’ati yang membaca Al-Qur’an secara
langsung dengan memenuhi kriteria tajwid secara benar. Dari metode ini lahirlah
metode yang sering kita kenal, yaitu metode iqro yang sedikit lebih longgar
dibandingkan metode qiro’ati.
Masih banyak metode-metode membaca Al-Qur’an lainnya yang bisa digunakan.
Terkait metode yang tepat dalam baca tulis Al-Qur’an bisa disesuaikan dengan
audiens yang dihadapi.” Ungkap Hasanuddin.
Adapun berdirinya Puji Taklim Al-Qur’an ini menjadi strategi
yang tepat dalam melihat tantangan dan realita di lapangan bahwa masih ada 65%
orang yang buta aksara Al-Qur’an dan era milenial yang serba bergantung kepada
internet dan gadget. Melalui lembaga ini, maka diharapkan hadirnya
metode-metode baca tulis Al-Qur’an yang tepat bagi era milenial dan bisa digunakan
melalui pendekatan digital yang akan membuat civitas akademik memiliki
kompetensi yang memadai dalam baca tulis Al-Qur’an.
Radikalisme Agama-Agama dan Masa Depan Pemberatasannya Di Indonesia
Menanggapi
wacana terorisme dan kekerasan atas nama agama akhir-akhir ini, Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menyelenggarakan Diskusi Online Dosen
Fidikom UIN Jakarta ke-9 yang bertemakan Radikalisme Agama-Agama dan Masa Depan
Pemberatasannya di Indonesia pada Kamis, (1/10/2020) yang dihadiri oleh 237 peserta terdiri dari civitas
akademika maupun umum. Diskusi ini dibagi ke dalam 4 sesi dengan menghadirkan 4 narasumber,
diantaranya Syamsul Yakin, Dosen Fidikom dan Pengasuh Peaantren Darul Akhyar,
Hudri, Dosen Fidikom dan Kandidat Doktor Coventry University Inggris, M. Yakub,
Dosen Fidikom dan Doktor Sejarah UIN Jakarta dan Tasman, Dosen Fidikom dan
Peneliti PPIM UIN jakarta yang dipandu oleh host Pia Khoirotun Nisa serta
dimoderatori oleh Rubiyanah.
Pada sesi pertama, Syamsul Yakin menjelaskan mengenaiAl-Qur’an Berwajah Radikal : Sebuah Dekosntruksi
Interpretasi Ayat Jihad dan Perang. Menurutnya, munculnya Radikalisme disebabkan
adanya kesalahpahaman dalam memahami
ayat-ayat perang dan ayat-ayat Jihad.
“…Jihad dan
perang dalam Al- Qur’an berbeda dengan radikalisme. Ayat jihad dan perang tidak
satu pun yang melgitimasi dan menjustifikasi aksi radikal, justru di tunjukkan
untuk meningkatkan ibadah, baik secara vertikal maupun horizontal. Tujuan jihad
dan perang itu sendiri adalah human welfare bukan warfare.” ujar
Syamsul.
Selanjutnya, Hudri menjelaskan mengenai Radikalisme Agama di Indonesia.
Ia berpendapat bahwa persoalan radikalisme adalah persoalan kesenjangan yang masuk ke ranah
sosial, ekonomi, bahkan politik. Bentuk radikalisme
berupa pemikiran dan dampaknya bisa disebut positif maupun negatif tergantung situasinya.
“…Bahwa sebenarnya
radikal dalam tindakan yang di sertai perasaan, kalau dia merasa kelompoknya
yang paling benar akan munculah suatu tindakan apalagi sifatnya kolektif itu
bahaya. Sebenernya sifat-sifat radikal ada fungsinya juga ketika pahlawan
bangsa jihad untuk merdeka itu agak radikal tapi demi kemerdekaan itu di
perbolehkan.” Ujar Hudri.
M. Yakub menjelaskan Radikalisme
Agama Perspektif Sejarah : Klasik dan Kontemporer. Menurut Yakub, dalam
perspektif sejarah, gerakan radikalisme dalam Islam telah muncul di masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan munculnya golongan Khawarij yang digolongkan
sebagai gerakan radikalisme Islam klasik.
“.. Dari
analisis sejarah ini, diketahui bahwa cikal bakal lahirnya aliran atau kelompok
Islam radikal kontemporer bersumber dari sejarah
Islam itu sendiri, yang mulanya dipelopori oleh kelompok Khawarij yang keras
kepala, tidak mengenal kompromi dan dialog. Kekerasan bukan tipe agama karena agama selalu berkomitmen menerapkan
doktrin keselamatan dan kesejahteraan.” Jelas Yakub.
Tasman menjelaskan mengenai Radikalisme Agen Sosialisasidimana agen sosialisasi keagamaan seperti lembaga pendidikan Islam maupun
organisasi dakwah Islam harus mengutamakan perspektif agama Islam Wasathiyah
yang toleran, damai dan inklusif di tengah masyarakat.
“…Meskipun bekakang ini, menguat kembali gerakan islam fundamentalis, salafi radikal dalam kancah kehidupan sosial politik Indonesia kontemporer, maka yang harus dilakukan adalah mengutamakan perspektif agama yang toleran, damai, dan inklusif. ‘Islam wasathiyah’ — Islam jalur tengah dengan tradisi inklusif, toleransi, dan ko-eksistensi damai dengan penganut agama lain, akan dapat membendung gerakan islam yang mencoba mengubah haluan dalam berbangsa dan bernegara.”
Sejak mewabahnya COVID-19, segala
aktivitas yang biasa dilakukan secara tatap muka kini beralih menjadi virtual.
Peralihan bentuk aktivitas menjadi virtual tersebut merupakan salah satu upaya
untuk mencegah penyebaran COVID-19. Aktivitas virtual yang terpaksa dilakukan
oleh masyarakat ini semakin bertambah ketika kebijakan work from home diterapkan di berbagai sektor, mulai dari pemerintahan hingga kegiatan
pendidikan di Indonesia. Semua pihak mencari cara paling efektif dalam
memanfaatkan kemajuan teknologi digital yang telah disediakan saat ini.
Berbagai perangkat lunak sebagai alternatif pengganti pertemuan secara tatap
muka yang semula jarang dipakai masyarakat, kini sudah menjadi kebutuhan primer
bagi masyarakat, terutama bagi pelajar, pengajar, dan juga pekerja kantoran.
Salah satu perangkat lunak tersebut adalah Google Meet atau biasa disebut
Gmeet.
Google Meet merupakan salah satu
produk keluaran Google yang memberikan layanan berupa konferensi video gratis
dengan durasi hingga 24 jam, kapasitas maksimal 100 partisipan, serta meeting
yang dapat dilakukan tanpa batasan jumlah. Gmeet juga sudah bisa diakses di berbagai
aplikasi, seperti web, Android, dan iOS. Banyaknya kemudahan yang diberikan
oleh Gmeet ini menjadikan mayoritas masyarakat memilihnya sebagai alternatif
utama untuk melakukan rapat, seminar, ataupun kegiatan belajar mengajar melalui
konferensi video.
Sayangnya, akses gratis 24 jam yang
diberikan oleh Gmeet ini tidak dapat diakses kembali mulai Oktober 2020
mendatang. Hal tersebut terlihat pada laman resmi Google Meet yang mana
terdapat keterangan bahwa akses gratis tersebut hanya bisa dinikmati sampai 30
September 2020. Setelah itu, Google Meet hanya memberikan akses 1 jam per
harinya. Walaupun begitu, pengguna Gmeet tetap bisa menikmati fitur lainnya,
seperti maksimal partisipan dalam meeting berjumlah 100 orang dan meeting dapat
dilakukan berkali-kali.
Agar dapat menikmati Google Meet
dengan durasi yang lebih lama, maka pengguna dapat memilih untuk mendaftar
layanan berbayar yang telah disediakan, yaitu G Suite Essential atau G Suite
Enterprise. Selain dapat menikmati layanan Gmeet dengan durasi yang lebih lama,
yaitu 300 jam per harinya, melalui kedua pilihan layanan berbayar tersebut,
pengguna juga bisa mendapatkan beberapa kelebihan, di antaranya berupa jumlah
maksimum partisipan yang lebih banyak, yaitu 150 hingga 250 partisipan, serta
layanan cloud atau penyimpanan virtual yang jumlahnya lebih besar dibandingkan
dengan Google Meet gratis. Yang pasti, pengguna premium akan mendapatkan fitur
yang lebih banyak daripada pengguna basic atau gratis.
Perubahan kebijakan yang diberikan
oleh Google Meet berupa pembatasan durasi pada layanan gratis tersebut tentunya
sangat disayangkan bagi sebagian besar penggunanya. Ditambah lagi, biaya
berlangganan paling murah, yaitu pada G Suite Essential akan mengalami kenaikan
harga pada Oktober mendatang. Yang semula dihargai 8 dolar Amerika, naik
menjadi 10 dolar Amerika per pengguna aktif. Apabila dirupiahkan, setiap bulan
pengguna aktif Gmeet premium harus mengeluarkan biaya kurang lebih dari Rp
118.000 naik menjadi sekitar Rp 148.000 (kurs Rp 14.905). Nominal harga ini
tentunya masih sesuai bagi kalangan pebisnis atau beberapa instansi besar
lainnya.
Dewasa ini, pengguna Gmeet tidak
hanya terbatas bagi kalangan pebisnis, melainkan selama pandemi ini marak juga
dimanfaatkan bagi kalangan pelajar dan pengajar dengan menggunakan kuota
internet. Melihat kondisi pandemi yang juga berdampak pada perekonomian, kecil
kemungkinan bagi mereka untuk berlangganan Gmeet tiap bulannya dengan biaya
yang cukup banyak tersebut. Oleh karena itu, terbatasnya akses Gmeet yang ke
depannya hanya berdurasi 1 jam sehari sepertinya cukup berpengaruh besar pada
kegiatan belajar-mengajar secara virtual di Indonesia ini yang mana mayoritas
menggunakan Gmeet karena berbagai kemudahan yang diberikannya, bahkan mungkin
di seluruh dunia, terkhusus bagi kalangan menengah ke bawah. Namun, hal ini
tidak semestinya mengurangi semangat untuk tetap aktif dan produktif dalam
kegiatan belajar-mengajar, justru dapat dijadikan motivasi agar tetap kreatif
dan inovatif dalam memanfaatkan berbagai aplikasi yang lebih bersahabat secara
finansial, dan kegiatan belajar-mengajar pun tetap terlaksana secara maksimal.
Masker Scuba dan Buff Ternyata Tak Efektif Cegah Covid-19
Ilustrasi Masker Scuba dan Buff
Masker kini sudah menjadi
kebutuhan primer bagi setiap orang di belahan dunia manapun, termasuk
Indonesia. Bagaimana tidak? Angka penyebaran Covid-19 yang kian melonjak menjadikan
penggunaan masker saat beraktivitas di luar rumah sebagai salah satu langkah kecil
dari pencegahan virus ini.
Namun, tak sedikit orang
yang mengenakan masker hanya untuk menggugurkan kewajiban akan peraturan,
bahkan hanya untuk sekadar gaya tanpa mempedulikan esensi dari penggunaan
masker itu sendiri. Bahan hingga cara penggunaan masker merupakan hal yang
mendasar untuk diperhatikan.
Baru-baru ini, PT Kereta
Commuter Indonesia (KCI) meminta penumpangnya untuk menghindari penggunaan
masker jenis scuba dan buff. Masker ini dinilai tidak efektif untuk mencegah transmisi
virus, dan ternyata dapat memecah droplet serta membuatnya menjadi lebih kecil sehingga
mudah terbang.
Imbauan ini didukung oleh
penyataan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, yang
mengatakan bahwa, kedua jenis masker tersebut berbahan satu lapis, terlalu tipis
sehingga memiliki potensi tembus yang lebih besar. Selain itu masker scuba dan
buff memiliki kecenderungan untuk ditarik ke dagu atau leher sehingga penggunaannya
tidak tepat.
Peneliti dari Duke
University, memaparkan berbagai jenis masker dan tingkat kefektifannya, lima
diantaranya adalah:
Pertama, masker N95, yang digadang-gadang memiliki
nilai keefektifan tertinggi yakni dapat memfilter 95-100% partikel yang ada di udara,
masker jenis ini biasa dikhususkan penggunaannya untuk para tenaga medis. Kedua,
masker bedah, yang beberapa waktu lalu sempat langka dan harganya melonjak di pasaran,
memiliki tingkat keefektifan 80-95%. Ketiga, masker FFP1, masker ini memiliki
katup udara di salah satu sisinya dengan menggunakan filter mekanis yang biasa digunakan
dalam masker respirator, dinilai efektif 80-95% untuk menangkal virus. Keempat,
masker bahan 3 lapis, masker jenis ini sedang tren dan sangat mudah dicari di
pasaran, masker ini memiliki tingkat keefektifan 50-70%, sehingga cukup aman digunakan.
Kelima, masker scuba atau buff, jenis masker yang sangat tidak disarankan
untuk penangkalan virus covid-19.
Berbagai jenis masker
telah tersedia di pasaran, peran kita sebagai konsumen untuk memilih yang tepat
dan menjadikannya sebagai kebutuhan utama untuk mencegah penularan covid-19
sejak dini.
Kerjasama FIDIKOM UIN Jakarta dengan FK KBIHU DKI Jakarta : Adakan Sertifikasi Pembimbing Haji dan Umrah Profesional
Rapat Penandatanganan MoU (17/9/2020)
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan
Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) wilayah DKI Jakarta mengadakan penandatangan MoU
pada Kamis, 17 September 2020. Acara tersebut diselenggarakan di Meeting Room Lantai 2 FIDIKOM UIN Jakarta,
dan dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Kelembagaan
UIN Jakarta, Andi Faisal Bakti, Dekan FIDIKOM UIN
Jakarta, Suparto beserta jajarannya, Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama DKI
Jakarta, Tabroni, Ketua Forum Komunikasi Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh (KBIHU)
DKI Jakarta, Muhammad Machdum, jajaran Dosen serta
seluruh tamu undangan yang turut hadir dalam acara tersebut.
Sebagai kampus yang memiliki
orientasi nasional dan internasional, tentunya harus membangun rekognisi atau
pengakuan publik, salah satunya dengan
melakukan kerjasama dengan pihak di luar kampus. Ketua
FK KBIHU DKI
Jakarta, Muhammad Machdum
mengatakan bahwa kerjasama ini dilaksanakan sesuai dengan UU
No. 8
tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji
dan Umrah.
“…
penandatangan yang dilakukan antara Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dengan FK KBIHU
DKI Jakarta sesuai UU No. 8 tahun 2019, bahwa pembimbing ibadah
haji dan umrah harus lebih profesional dan memiliki kompetensi, meningkatkan
kualitas bimbingan yang
ditandai dengan adanya
sertifikasi…” ujar M. Machdum.
Dekan
FIDIKOM UIN Jakarta,
Suparto menyebut pelatihan
sertifikasi bagi para pembimbing haji dan umrah menjadi salah satu program kerjasama yang akan dilakukan guna
menciptakan para pembimbing haji dan umrah yang professional.
“…
bentuk kejasamanya adalah pelatihan sertifikasi bagi para pembimbing haji dan
umrah, sertifikasi disini ialah standarisasi pengalaman, standarisasi sikap dan
standarisasi pengetahuan dan keterampilan, dalam aspek tersebut diharapkan
seluruh pembimbing haji dan umrah adalah mereka-mereka yang professional dalam
pelayanan…” ungkap Suparto.
Diharapkan
semua peserta sertifikasi bisa memperoleh ilmu pengetahuan dan informasi, bukan
hanya perihal hukum-hukum haji yang aktual, melainkan bisa menjadi pembimbing
haji dan umrah yang profesional dan tersertifikasi.