Perjalanan Film Indonesia
Penulis Jenni Rosmi Aryanti; Editor Dani Zahra Anjaswari

Siapa di antara kamu yang suka nonton film? Sudah tahukah kamu bahwa tanggal 30 Maret diperingati sebagai Hari Film Nasional? Lalu bagaimana latar belakangnya, ya? Simak penjelasannya di bawah ini!
Perjalanan Perfilman Indonesia
Masyarakat pada zaman Hindia Belanda mulai mengenal pertunjukkan gambar hidup pertama kali pada tanggal 5 Desember 1900 ketika diadakan pertunjukkan di rumah Tuan Schwarz di daerah Tanah Abang, Kebondjae, yang difungsigandakan menjadi sebuah gedung pertunjukkan dengan mengubah namanya menjadi “The Rojal Bioscope“. Gedung semacam itulah yang dikenal dengan nama bioskop hingga kini.
Pada awal perkembangan film di Indonesia, para penonton pribumi belum dapat menikmati pertunjukkan film dengan cerita yang utuh. Film-film yang ditampilkan di bioskop merupakan kumpulan berbagai macam potongan film yang digabung menjadi satu. Hasil guntingan sensor Komisi Sensor Film berhasil dikuasai para pedagang Cina yang memiliki bioskop dan dijadikan “film aneka rupa” untuk menarik keuntungan dari masyarakat.
Film cerita pertama yang dibuat di Indonesia berjudul “Loetoeng Kasaroeng” yang dibuat oleh L. Heuveldorp dan G. Krugers di Bandung pada tahun 1926 di bawah naungan Java Film Company. Film menampilkan cerita rakyat daerah Priangan (Jawa Barat) dan luar biasanya film ini diputar 6 hari berturut-turut dari tanggal 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927.
Kemudian, pada 30 Maret 1950 diadakan pengambilan gambar pertama kali film Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi) hasil garapan Usmar Ismail. Dan tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Film Nasional. Pada tahun tersebut Usmar Ismail mendirikan perusahaan film Indonesia pertama bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional).
Perfini merupakan perusahaan film yang menggunakan modal nasional, tenaga karyawan, bintang film, serta sutradara asli orang Indonesia. Usmar Ismail pun dijadikan sebagai Bapak Perfilman Nasional.

Perfilman Indonesia Dulu dan Sekarang
Film sudah menjadi hal yang melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama kalangan muda. Setiap ada film baru yang tayang, bioskop selalu padat oleh antrian pengunjung yang membeli tiket. Namun, sayangnya dari dulu hingga kini bioskop Indonesia masih didominasi film-film impor.
Salah satu mahasiswa Jurnalistik UIN Jakarta, Ridho Hatmanto berpendapat film Indonesia masih butuh sumber daya manusia yang benar-benar paham mengenai perfilman terutama untuk pemeran film serta penulis film sehingga dapat menarik minat masyarakat untuk menonton.
“Selain itu juga perfilman Indonesia masih butuh alat-alat yang mendukung untuk membuat efek yang lebih memukau agar dapat memanjakan mata penonton,” ujarnya.
Berdasarkan data sensor film dan iklan film bioskop pada 2020 ada 68 judul film lokal dari 196 film lokal maupun impor yang telah lulus sensor. Sedangkan, 128 judul film lainnya merupakan film impor.
Meski demikian, dunia perfilman Indonesia terus menunjukkan kemajuan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penonton yang terus meningkat dan kualitas film.
Menurut Ridho, film Indonesia saat ini cukup mengalami perkembangan pesat. Mulai dari hal yang dibahas, banyaknya pemeran baru, teknik pengambilan video, dan lainnya.
Bukan hanya film “Ada Apa Dengan Cinta” yang selalu ditonton ulang hingga kini, film lainnya seperti “Dilan 1991”, “Imperfect“, “Ku Kira Kau Rumah”, “Pengabdi Setan”, dan masih banyak lagi selalu disambut manis oleh masyarakat Indonesia. Kalau kamu sudah nonton film lokal apa saja?